Hepatitis D adalah infeksi langka namun berbahaya yang memperburuk Hepatitis B. Kenali risikonya dan pentingnya deteksi serta vaksinasi.
Hepatitis D adalah infeksi hati yang serius dan unik karena hanya dapat terjadi pada individu yang sudah terinfeksi hepatitis B. Penyakit ini dapat memperburuk kerusakan hati dan meningkatkan risiko komplikasi berat, seperti sirosis dan kanker hati.
Pencegahan melalui vaksinasi hepatitis B menjadi langkah utama dalam menghindari infeksi ini. Mari membahas lebih lanjut mengenai penyebab, gejala, diagnosis, hingga pengobatan hepatitis D!
Apa Itu Hepatitis D?
Hepatitis D, juga dikenal sebagai hepatitis delta, adalah infeksi hati yang disebabkan oleh virus hepatitis D (HDV).
Virus ini unik karena memerlukan keberadaan virus hepatitis B (HBV) untuk bereplikasi dalam tubuh manusia. Artinya, seseorang hanya dapat terinfeksi HDV jika mereka sudah terinfeksi HBV sebelumnya atau secara bersamaan.
Infeksi HDV dianggap sebagai bentuk hepatitis virus yang paling parah. Dibandingkan dengan infeksi HBV saja, koinfeksi atau superinfeksi dengan HDV dapat menyebabkan:
Perkembangan Cepat Menuju Sirosis: Jaringan hati yang sehat digantikan oleh jaringan parut, mengganggu fungsi hati.
Peningkatan Risiko Karsinoma Hepatoseluler (Kanker Hati): Peluang berkembangnya kanker hati meningkat signifikan.
Gagal Hati dan Kematian: Risiko komplikasi serius yang lebih tinggi, termasuk kematian.
Penting untuk dicatat bahwa superinfeksi HDV pada individu dengan HBV kronis memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan koinfeksi simultan. Sekitar 75% individu dengan hepatitis D kronis berkembang menjadi sirosis dalam 15 tahun.
Ada Berapa Macam Jenis Hepatitis dan Apa Perbedaannya?
Secara umum, hepatitis dikategorikan menjadi dua kelompok utama: hepatitis virus dan hepatitis non-virus. Terdapat lima jenis utama hepatitis yang disebabkan oleh infeksi virus, yaitu hepatitis A, B, C, D, dan E.
Hepatitis A (HAV)
Hepatitis A disebabkan oleh virus hepatitis A dan biasanya ditularkan melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi oleh tinja orang yang terinfeksi (penularan fecal-oral). Penyakit ini umumnya bersifat akut dan tidak berkembang menjadi kondisi kronis.
Hepatitis B (HBV)
Virus hepatitis B menyebar melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi, seperti melalui hubungan seksual tanpa pelindung, penggunaan jarum suntik bersama, atau dari ibu ke bayi saat persalinan.
Infeksi HBV dapat bersifat akut atau kronis. Infeksi kronis meningkatkan risiko sirosis dan kanker hati.
Hepatitis C (HCV)
Hepatitis C terutama ditularkan melalui kontak dengan darah yang terinfeksi, misalnya melalui penggunaan jarum suntik bersama atau transfusi darah yang tidak aman. Sebagian besar infeksi HCV berkembang menjadi kondisi kronis, yang dapat menyebabkan sirosis atau kanker hati.
Hepatitis D (HDV)
Hepatitis D, atau delta hepatitis, hanya terjadi pada individu yang sudah terinfeksi hepatitis B, karena virus HDV memerlukan HBV untuk bereplikasi.
Penularannya mirip dengan HBV, melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi. Infeksi ganda HBV dan HDV dapat menyebabkan penyakit hati yang lebih parah.
Hepatitis E (HEV)
Virus hepatitis E ditularkan terutama melalui konsumsi air yang terkontaminasi. Hepatitis E umumnya bersifat akut dan tidak berkembang menjadi kronis. Namun, pada wanita hamil, infeksi HEV dapat lebih serius dan berpotensi fatal.
Apa Penyebab Hepatitis D?
Simak dan pahami penyebab-penyebab seseorang terjangkit Hepatitis D:
Infeksi Ganda (Koinfeksi) HBV dan HDV:
Koinfeksi terjadi ketika seseorang terinfeksi HBV dan HDV secara bersamaan. Individu yang belum pernah terpapar HBV sebelumnya dapat mengalami koinfeksi jika terpapar kedua virus tersebut pada waktu yang sama.
Koinfeksi ini dapat menyebabkan hepatitis akut dengan gejala yang lebih parah dibandingkan infeksi HBV saja.
Superinfeksi HDV pada Penderita HBV Kronis:
Superinfeksi terjadi ketika seseorang yang sudah memiliki infeksi HBV kronis kemudian terinfeksi HDV. Superinfeksi ini sering menyebabkan perkembangan penyakit hati yang lebih cepat dan parah, termasuk peningkatan risiko sirosis dan kanker hati.
Bagaimana Penularan Hepatitis D?
HDV ditularkan melalui jalur yang mirip dengan HBV, yaitu:
Kontak dengan Darah atau Produk Darah yang Terinfeksi: Penularan dapat terjadi melalui penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi, transfusi darah yang tidak aman, atau prosedur medis dengan peralatan yang tidak steril.
Penularan dari Ibu ke Anak (Perinatal): Meskipun jarang, HDV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi kepada bayinya selama proses persalinan.
Kontak Seksual: Penularan melalui hubungan seksual tanpa pelindung dengan pasangan yang terinfeksi HBV dan HDV juga mungkin terjadi, meskipun kurang umum dibandingkan penularan melalui darah.
Individu dengan risiko lebih tinggi untuk terinfeksi HDV meliputi:
Pengguna Narkoba Suntik: Mereka yang menggunakan jarum suntik bersama memiliki risiko tinggi terpapar HDV.
Penerima Transfusi Darah atau Produk Darah: Terutama jika darah atau produknya tidak disaring dengan baik untuk HBV dan HDV.
Individu dengan Infeksi HBV Kronis: Mereka yang sudah terinfeksi HBV memiliki risiko tinggi untuk superinfeksi HDV.
Pasangan Seksual dari Individu yang Terinfeksi: Mereka yang berhubungan seksual tanpa pelindung dengan individu yang terinfeksi HBV dan HDV berisiko tertular.
Apa Gejala Hepatitis D?
Gejala hepatitis D bervariasi tergantung pada tingkat keparahan infeksi dan apakah infeksi terjadi sebagai koinfeksi (infeksi simultan dengan HBV) atau superinfeksi (infeksi HDV pada individu dengan HBV kronis).
Gejala Hepatitis D Berdasarkan Tingkat Keparahan:
Infeksi Akut (Koinfeksi HBV dan HDV):
Gejala Ringan hingga Sedang:
Demam: Peningkatan suhu tubuh sebagai respons terhadap infeksi.
Kelelahan: Perasaan lelah yang berlebihan dan kurang energi.
Nafsu Makan Menurun: Kehilangan keinginan untuk makan.
Mual dan Muntah: Sensasi ingin muntah atau muntah yang sebenarnya.
Nyeri Perut: Ketidaknyamanan atau rasa sakit di area perut.
Penyakit Kuning (Jaundice): Kulit dan mata menguning akibat penumpukan bilirubin.
Urin Berwarna Gelap: Urine yang tampak lebih gelap dari biasanya.
Feses Berwarna Pucat: Perubahan warna tinja menjadi lebih terang.
Gejala-gejala ini biasanya muncul 3–7 minggu setelah infeksi awal dan serupa dengan jenis hepatitis virus lainnya. Sebagian besar individu dengan koinfeksi mengalami pemulihan total, meskipun dalam beberapa kasus, hepatitis fulminan (gagal hati akut) dapat terjadi.
Superinfeksi (HDV pada Penderita HBV Kronis):
Gejala Lebih Parah dan Cepat Berkembang:
Perburukan Gejala Hepatitis Kronis: Gejala yang ada menjadi lebih intens.
Perkembangan Cepat Menuju Sirosis: Jaringan hati yang sehat digantikan oleh jaringan parut dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan infeksi HBV saja.
Risiko Tinggi Gagal Hati: Kemungkinan mengalami kegagalan fungsi hati meningkat secara signifikan.
Peningkatan Risiko Kanker Hati (Hepatoseluler Karsinoma): Kemungkinan berkembangnya kanker hati menjadi lebih tinggi.
Superinfeksi HDV sering menyebabkan progresi penyakit hati yang lebih cepat dan parah dibandingkan dengan infeksi HBV saja. Sekitar 70–90% individu dengan superinfeksi HDV berkembang menjadi penyakit hati yang lebih serius dalam waktu singkat.
Catatan Penting:
Asimtomatik: Beberapa individu yang terinfeksi HDV mungkin tidak menunjukkan gejala yang jelas, terutama pada tahap awal infeksi.
Pentingnya Diagnosis Dini: Mengingat potensi keparahan hepatitis D, deteksi dan intervensi dini sangat penting untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Apa Tes Diagnosis Hepatitis D?
Diagnosis hepatitis D melibatkan serangkaian tes laboratorium untuk mendeteksi keberadaan antibodi spesifik dan materi genetik virus.
Berikut adalah metode diagnostik utama yang digunakan:
Deteksi Antibodi terhadap HDV (Anti-HDV):
Anti-HDV IgM: Antibodi ini muncul dalam 2–3 minggu setelah timbulnya gejala dan biasanya menghilang dalam 2 bulan setelah infeksi akut. Namun, peningkatan kadar IgM juga dapat terjadi pada infeksi HDV kronis selama eksaserbasi penyakit.
Anti-HDV IgG: Antibodi ini ditemukan pada pasien dalam remisi akut atau dengan infeksi HDV kronis dan dapat bertahan lama setelah pembersihan virus.
Penting untuk dicatat bahwa hasil positif untuk anti-HDV IgG atau IgM menunjukkan paparan terhadap HDV, tetapi tidak membedakan antara infeksi aktif dan infeksi sebelumnya. Oleh karena itu, deteksi RNA HDV diperlukan untuk konfirmasi infeksi aktif.
Deteksi RNA HDV:
Uji RT-qPCR: Reaksi rantai polimerase transkripsi balik kuantitatif (RT-qPCR) adalah standar emas untuk mengukur viral load RNA HDV. Tes ini digunakan untuk menilai respons terhadap pengobatan infeksi HDV. Namun, variabilitas genotip HDV dan variasi dalam teknik laboratorium dapat mempengaruhi akurasi pengukuran RNA HDV.
Deteksi RNA HDV sangat penting untuk mengkonfirmasi infeksi aktif dan memandu keputusan terapeutik.
Deteksi Antigen HDV (HDAg):
Meskipun pengujian HDAg dapat menunjukkan replikasi virus aktif, tes ini tidak banyak tersedia dan memiliki keterbatasan dalam sensitivitas dan reproduktifitas. Oleh karena itu, pengujian HDAg tidak secara rutin direkomendasikan dalam praktik klinis saat ini.
Pengujian Fungsi Hati:
Enzim Hati: Peningkatan kadar enzim hati seperti alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST) dapat mengindikasikan kerusakan hati.
Bilirubin: Peningkatan kadar bilirubin dapat menyebabkan jaundice (penyakit kuning), yang sering terlihat pada pasien dengan hepatitis.
Meskipun tes ini tidak spesifik untuk HDV, mereka membantu menilai tingkat kerusakan hati dan memantau progresi penyakit.
Biopsi Hati:
Dalam kasus tertentu, biopsi hati dapat dilakukan untuk menilai tingkat kerusakan atau fibrosis hati. Namun, dengan adanya teknik non-invasif yang lebih baru, kebutuhan untuk biopsi hati telah berkurang.
Algoritma Diagnosis yang Direkomendasikan
Untuk diagnosis yang efektif, pendekatan berikut direkomendasikan:
Skrining untuk HBV:
Semua individu yang berisiko atau menunjukkan gejala hepatitis harus diuji untuk antigen permukaan hepatitis B (HBsAg).
Skrining untuk HDV:
Individu yang positif HBsAg harus diuji untuk antibodi total anti-HDV menggunakan uji immunoassay enzim (ELISA).
Konfirmasi Infeksi Aktif:
Jika hasil anti-HDV positif, tes RNA HDV kuantitatif harus dilakukan untuk mengkonfirmasi infeksi aktif.
Evaluasi Lanjutan:
Tes fungsi hati dan penilaian klinis lainnya harus dilakukan untuk menentukan tingkat kerusakan hati dan kebutuhan akan intervensi terapeutik.
Berapa Harga Tes Diagnosis Hepatitis D?
Harga tes diagnosis infeksi hepatitis D di Indonesia bervariasi tergantung bervariasi tergantung pada fasilitas kesehatan, jenis vaksin, dan lokasi.
Klinik laboratorium Bumame menyediakan rangkaian tes pemeriksaan fungsi hati dengan rincian pemeriksaan yaitu SGOT, SGPT, GAMMA GT dengan harga Rp288.000.
Paket pemeriksaan ini dapat mengecek kondisi fungsi hati dan peradangan sel hati yang dapat membantu dokter mengidentifikasi infeksi hepatitis D.
Bagaimana Menyembuhkan Hepatitis D?
Berikut adalah metode utama dalam pengobatan hepatitis D:
Interferon Alfa Pegilasi (Peg-IFN-α): Terapi utama yang direkomendasikan untuk infeksi HDV. Obat ini diberikan sekali seminggu selama minimal 48 minggu.
Efektivitas: Meskipun hanya sebagian kecil pasien yang mencapai respons virologis yang bertahan lama, terapi ini dapat memperlambat perkembangan penyakit hati.
Efek Samping: Penggunaan Peg-IFN-α dapat menyebabkan efek samping signifikan, termasuk gejala mirip flu, depresi, dan penurunan jumlah sel darah.
Bulevirtide: Obat ini bekerja dengan menghambat masuknya virus ke dalam sel hati.
Efektivitas: Studi klinis menunjukkan bahwa bulevirtide, baik sebagai monoterapi maupun dikombinasikan dengan Peg-IFN-α, dapat menurunkan viremia HDV dan menormalkan kadar enzim hati pada banyak pasien.
Status Persetujuan: Bulevirtide telah disetujui di beberapa wilayah dan sedang dievaluasi lebih lanjut untuk penggunaannya secara luas.
Lonafarnib: Inhibitor prenilasi yang mencegah replikasi HDV dengan menghambat proses penting dalam siklus hidup virus.
Efektivitas: Ketika dikombinasikan dengan ritonavir dan/atau Peg-IFN-α, lonafarnib menunjukkan penurunan kadar RNA HDV yang signifikan.
Efek Samping: Efek samping yang umum termasuk gangguan pencernaan dan penurunan berat badan.
Transplantasi Hati: Bagi pasien dengan penyakit hati stadium akhir akibat infeksi HDV, transplantasi hati mungkin menjadi satu-satunya pilihan pengobatan yang tersedia.
Pertimbangan: Keputusan untuk melakukan transplantasi harus dipertimbangkan dengan hati-hati, mengingat risiko dan manfaatnya.
Catatan Penting:
Pemantauan Rutin: Pasien dengan hepatitis D memerlukan pemantauan medis yang ketat untuk menilai respons terhadap terapi dan mendeteksi komplikasi potensial.
Keterbatasan Terapi Saat Ini: Meskipun beberapa terapi menunjukkan hasil yang menjanjikan, tidak semua pasien merespons pengobatan dengan baik.
Apakah Ada Vaksin Hepatitis D?
Saat ini, belum tersedia vaksin khusus untuk mencegah infeksi virus hepatitis D (HDV).
Pencegahan terbaik adalah melalui vaksinasi hepatitis B, karena HDV memerlukan infeksi hepatitis B untuk berkembang. Dengan mencegah hepatitis B, risiko infeksi hepatitis D juga dapat diminimalkan.
Biaya vaksinasi hepatitis B di Indonesia bervariasi. Vaksin untuk Dewasa sekitar Rp350.000-Rp1.090.000. Sementara pemberian dosis lahir vaksin hepatitis B berkisar antara Rp105.000-Rp300.000, tergantung lokasi dan fasilitas kesehatan.
Hepatitis D merupakan penyakit yang dapat mempercepat kerusakan hati dan menimbulkan risiko komplikasi yang serius.
Karena belum ada vaksin khusus untuk hepatitis D, pencegahan terbaik adalah dengan mendapatkan vaksin hepatitis B dan menghindari faktor risiko yang dapat menyebabkan infeksi.
Dengan deteksi dini dan pengobatan yang tepat, pasien hepatitis D masih memiliki peluang untuk mengelola penyakit ini dengan baik dan mencegah dampak yang lebih parah.
Sumber:
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Hepatitis D - About [Internet]. Atlanta: CDC; [updated 2024; cited 2025 Mar 14]. Available from: https://www.cdc.gov/hepatitis-d/about/index.html
World Health Organization (WHO). Hepatitis D Fact Sheet [Internet]. Geneva: WHO; [updated 2024; cited 2025 Mar 14]. Available from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hepatitis-d
Lok AS, McMahon BJ. Hepatitis D Virus Infection [Internet]. In: National Center for Biotechnology Information (NCBI) Bookshelf. Bethesda (MD): NCBI; [updated 2024; cited 2025 Mar 14]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470436/
Rizzetto M, Ciancio A. Hepatitis D: An Update. World J Hepatol [Internet]. 2014;6(9):531-40 [cited 2025 Mar 14]. Available from: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4208707/
Wranke A, Wedemeyer H. Hepatitis D: A Concerning Disease. Liver Int [Internet]. 2016;36(Suppl 1):99-104 [cited 2025 Mar 14]. Available from: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4988222/
Chen HY, Shen DT, Ji DZ, et al. Global Epidemiology of Hepatitis D Virus Infection: Systematic Review and Meta-Analysis of 237 Studies. J Hepatol [Internet]. 2023;79(2):225-38 [cited 2025 Mar 14]. Available from: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10374831/
Shih YF, Liu CJ. Natural History and Clinical Outcomes of Hepatitis D Virus Infection. Hepatology [Internet]. 2024;80(1):45-58 [cited 2025 Mar 14]. Available from: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10541033/