Osteoporosis sering tanpa gejala, tapi berdampak serius pada tulang. Pelajari cara mencegah dan menjaga kepadatan tulang sejak dini.
Osteoporosis adalah suatu kondisi medis di mana kepadatan dan kualitas tulang menurun sehingga membuat tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Penyakit ini dikenal sebagai "silent disease" karena sering berkembang tanpa gejala hingga terjadi fraktur. Tulang yang sehat memiliki struktur yang kuat karena keseimbangan antara proses pembentukan tulang (osteogenesis) dan penguraian tulang (resorpsi). Pada osteoporosis, keseimbangan ini terganggu sehingga proses resorpsi melebihi pembentukan, mengakibatkan berkurangnya massa tulang dan perubahan mikrostruktur tulang.
Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang signifikan, terutama pada populasi lanjut usia, namun tidak terbatas hanya pada kelompok tersebut. Baik pria maupun wanita dapat terkena, meskipun risiko lebih tinggi pada wanita pasca-menopause akibat penurunan hormon estrogen yang berperan dalam pemeliharaan kepadatan tulang.
Berapa Banyak Kasus Osteoporosis di Indonesia
Di Indonesia, osteoporosis semakin menjadi perhatian karena bertambahnya jumlah penduduk lanjut usia seiring dengan perbaikan angka harapan hidup. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan dan beberapa penelitian terbaru, prevalensi osteoporosis di Indonesia menunjukkan peningkatan, terutama di kalangan wanita pasca-menopause. Studi epidemiologi lokal mengungkapkan bahwa hampir 1 dari 3 wanita berusia di atas 50 tahun mengalami penurunan massa tulang yang signifikan.
Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan prevalensi osteoporosis sebesar 23% pada wanita berusia 50-80 tahun, dan meningkat menjadi 53% pada wanita di atas 80 tahun. Peningkatan angka harapan hidup dan perubahan gaya hidup, seperti kurangnya aktivitas fisik dan asupan nutrisi yang tidak seimbang, berkontribusi pada tingginya angka kejadian osteoporosis di Indonesia.
Apa yang Menjadi Penyebab dan Faktor Resiko
Osteoporosis disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor yang bersifat non-modifikasi (tidak bisa diubah) dan modifikasi (bisa diubah). Faktor-faktor tersebut meliputi:
Faktor Non-Modifikasi:
Usia: Risiko osteoporosis meningkat seiring bertambahnya usia.
Jenis Kelamin: Wanita, terutama setelah menopause, memiliki risiko lebih tinggi dibanding pria.
Riwayat Keluarga: Genetik memegang peranan penting. Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, risiko seseorang juga meningkat.
Etnis: Beberapa kelompok etnis, seperti orang Asia, diketahui memiliki kepadatan tulang yang lebih rendah dibanding kelompok lain.
Faktor Modifikasi:
Nutrisi: Asupan kalsium dan vitamin D yang tidak mencukupi sangat berpengaruh terhadap kesehatan tulang. Pola makan tinggi garam dan kafein juga dapat mengganggu penyerapan kalsium.
Gaya Hidup: Kurangnya aktivitas fisik, merokok, dan konsumsi alkohol secara berlebihan merupakan faktor risiko yang bisa diubah.
Kondisi Medis dan Obat-obatan: Penyakit autoimun, gangguan tiroid, dan penggunaan obat-obatan seperti kortikosteroid dalam jangka panjang juga dapat meningkatkan risiko osteoporosis.
Perbedaan Osteoporosis dan Osteopenia: Tahap Awal hingga Tulang Keropos
Osteoporosis dan osteopenia sering kali disalahartikan sebagai kondisi yang sama. Keduanya memang berkaitan dengan penurunan kepadatan tulang, tetapi memiliki tingkat keparahan yang berbeda. Osteopenia merupakan tahap awal sebelum osteoporosis, di mana kepadatan tulang mulai berkurang, tetapi belum cukup parah untuk dikategorikan sebagai osteoporosis. Memahami perbedaan keduanya sangat penting agar seseorang bisa mengambil langkah pencegahan sebelum kondisi semakin memburuk.
Apa Itu Osteopenia?
Osteopenia adalah kondisi di mana kepadatan mineral tulang mulai menurun, tetapi belum mencapai tingkat yang berisiko tinggi untuk patah tulang. Pada tahap ini, tulang masih cukup kuat untuk menopang tubuh, tetapi lebih rentan terhadap cedera dibandingkan tulang yang sehat.
Menurut World Health Organitation (WHO), osteopenia didiagnosis melalui pemeriksaan Bone Mineral Density (BMD) menggunakan Dual-energy X-ray Absorptiometry (DXA). Hasil pemeriksaan BMD dinyatakan dalam T-score, yang menunjukkan seberapa jauh kepadatan tulang seseorang dibandingkan dengan kepadatan tulang rata-rata orang dewasa muda yang sehat.
Berikut interpretasi T-score berdasarkan WHO:
T-Score | Kategori |
---|---|
-1.0 ke atas | Normal |
-1.0 hingga -2.5 | Osteopenia |
-2.5 atau lebih rendah | Osteoporosis |
Seseorang dengan osteopenia memiliki kepadatan tulang lebih rendah dari normal tetapi belum termasuk osteoporosis. Namun, tanpa langkah pencegahan, osteopenia bisa berkembang menjadi osteoporosis.
Gejala Osteoporosis
Salah satu karakteristik utama osteoporosis adalah “silent disease” atau penyakit yang tidak menunjukkan gejala pada tahap awal. Banyak penderita tidak menyadari kondisi mereka hingga terjadi patah tulang. Berikut adalah beberapa gejala yang mungkin muncul ketika penyakit telah mencapai tahap lanjut:
Nyeri Tulang Belakang: Seringkali disebabkan oleh fraktur kompresi pada tulang belakang.
Postur Tubuh Membungkuk: Kondisi ini disebut dengan “kyphosis” dan muncul akibat kompresi vertebra.
Fraktur Tulang: Patah tulang yang terjadi akibat trauma ringan atau bahkan tanpa adanya trauma, terutama pada pinggul, pergelangan tangan, dan tulang belakang.
Penurunan Tinggi Badan: Terjadi akibat kompresi tulang belakang secara bertahap.
Gejala-gejala ini sering dianggap sebagai bagian dari proses penuaan normal, sehingga penting untuk meningkatkan kesadaran agar deteksi dini dapat dilakukan sebelum terjadi komplikasi serius.
Diagnosis Osteoporosis
untuk mendiagnosis osteoporosis, dokter akan melakukan serangkaian evaluasi yang meliputi:
Riwayat Medis dan Pemeriksaan Fisik:
Dokter akan menanyakan riwayat kesehatan, pola makan, riwayat keluarga, serta gaya hidup pasien. Pemeriksaan fisik juga dilakukan untuk menilai tanda-tanda seperti postur tubuh yang berubah atau nyeri tulang.
Pemeriksaan Penunjang:
Densitometri Tulang (DXA): merupakan metode standar untuk mengukur kepadatan mineral tulang. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya memerlukan waktu sekitar 5-15 menit. Hasilnya dinyatakan dalam T-score, yang membandingkan kepadatan tulang pasien dengan nilai rata-rata orang dewasa muda sehat.
Penanda Biokimia Tulang: pemeriksaan darah untuk menilai aktivitas metabolisme tulang, yang berguna dalam memantau efektivitas terapi.
Laboratorium: Tes darah dan urin dilakukan untuk menilai kadar kalsium, vitamin D, hormon paratiroid, dan penanda biokimia lainnya yang berhubungan dengan metabolisme tulang.
Pencitraan Lain: Selain DXA, terkadang dokter juga merekomendasikan pencitraan radiologi lain seperti Computed Tomography (CT scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk menilai struktur tulang secara lebih detail, terutama jika sudah terjadi fraktur.
Evaluasi Risiko Fraktur: Dengan menggunakan alat penilaian risiko fraktur seperti Fracture Risk Assessment Tool (FRAX), dokter dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya fraktur dalam beberapa tahun mendatang. Alat ini menggabungkan data klinis dan hasil BMD untuk memberikan penilaian risiko yang lebih akurat.
Pemeriksaan lanjutan ini membantu dokter dalam menentukan apakah pasien memerlukan terapi agresif atau dapat dikelola dengan modifikasi gaya hidup dan pengobatan konservatif.
Pengobatan Osteoporosis
Penanganan osteoporosis bertujuan untuk mencegah patah tulang, memperlambat atau menghentikan penurunan massa tulang, serta meningkatkan kualitas hidup pasien.Pendekatan pengobatan meliputi:
Perubahan Gaya Hidup:
Asupan Nutrisi: meningkatkan konsumsi kalsium dan vitamin D melalui makanan atau suplemen.
Aktivitas Fisik: melakukan latihan beban dan latihan penguatan otot secara rutin untuk meningkatkan kekuatan dan keseimbangan.
Menghindari Faktor Risiko: berhenti merokok, mengurangi konsumsi alkohol, dan menghindari minuman bersoda.
Terapi Farmakologis:
Bifosfonat: obat yang membantu mengurangi resorpsi tulang dan meningkatkan massa tulang.
Terapi Hormon: ntuk wanita pascamenopause, terapi estrogen dapat dipertimbangkan, namun harus dievaluasi risiko dan manfaatnya.
Skrining Osteoporosis
Screening atau deteksi dini osteoporosis sangat dianjurkan, terutama bagi individu dengan faktor risiko tinggi. Pemeriksaan DXA merupakan metode standar untuk screening, namun tidak semua orang harus menjalani tes ini secara rutin. Beberapa rekomendasi skrining adalah:
Wanita Pasca-Menopause: Terutama yang berusia 65 tahun ke atas atau yang memiliki faktor risiko lain.
Pria dengan Faktor Risiko: Meskipun lebih jarang, pria dengan riwayat fraktur atau kondisi medis tertentu juga perlu discreening.
Individu dengan Riwayat Keluarga Osteoporosis: Mereka yang memiliki anggota keluarga dengan osteoporosis atau fraktur terkait perlu mendapat perhatian khusus.
Pasien yang Mengonsumsi Obat Tertentu: Seperti penggunaan jangka panjang kortikosteroid.
Screening dini memungkinkan intervensi sejak awal sehingga pengobatan dan pencegahan komplikasi dapat dilakukan lebih efektif.
Pencegahan Osteoporosis
pencegah osteoporosis lebih baik daripada mengobati.Beberapa langkah pencegahan meliputi:
Nutrisi Seimbang: astikan asupan kalsium dan vitamin D yang cukup melalui diet atau suplemen.
Aktivitas Fisik: akukan olahraga secara rutin, terutama latihan beban dan latihan keseimbangan.
Hindari Rokok dan Alkohol: Kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol berlebihan dapat mempercepat penurunan massa tulang.
Paparan Sinar Matahari: Vitamin D yang diperoleh dari sinar matahari membantu penyerapan kalsium, sehingga penting untuk mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup, sekitar 10–15 menit per hari.
Jaga Berat Badan Ideal: Berat badan yang terlalu rendah dapat meningkatkan risiko osteoporosis, sementara kelebihan berat badan dapat meningkatkan risiko patah tulang akibat jatuh.
Pencegahan Jatuh: Mengurangi risiko jatuh sangat penting, terutama bagi lansia. Menggunakan alas kaki yang nyaman, memastikan rumah bebas dari benda-benda yang dapat menyebabkan tersandung, serta memasang pegangan di kamar mandi dapat membantu mengurangi risiko cedera.
Osteoporosis adalah kondisi yang sering tidak disadari hingga terjadi patah tulang. Dengan meningkatnya angka harapan hidup, penting bagi masyarakat untuk memahami faktor risiko, gejala, serta langkah-langkah pencegahan dan pengobatan osteoporosis. Deteksi dini melalui skrining, penerapan gaya hidup sehat, serta kepatuhan terhadap pengobatan dapat membantu mengurangi dampak osteoporosis dan meningkatkan kualitas hidup.
Upaya edukasi yang terus menerus diperlukan agar masyarakat lebih peduli terhadap kesehatan tulang sejak dini, sehingga kasus osteoporosis dapat dikurangi dan generasi mendatang dapat menikmati hidup yang lebih sehat dan aktif.
Sumber:
Martin RM, Correa PH. Bone quality and osteoporosis therapy. Arq Bras Endocrinol Metabol. 2010 Mar;54(2):186-99. doi: 10.1590/s0004-27302010000200015. PMID: 20485908.
Turner CH. Biomechanics of bone: determinants of skeletal fragility and bone quality. Osteoporos Int. 2002;13(2):97-104. doi: 10.1007/s001980200000. PMID: 11905527.
Zhivodernikov IV, Kirichenko TV, Markina YV, Postnov AY, Markin AM. Molecular and Cellular Mechanisms of Osteoporosis. Int J Mol Sci. 2023 Oct 30;24(21):15772. doi: 10.3390/ijms242115772. PMID: 37958752; PMCID: PMC10648156.
Rosen CJ. The Epidemiology and Pathogenesis of Osteoporosis. [Updated 2020 Jun 21]. In: Feingold KR, Anawalt B, Blackman MR, et al., editors. Endotext [Internet]. South Dartmouth (MA): MDText.com, Inc.; 2000-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279134/
Jeremiah MP, Unwin BK, Greenawald MH, Casiano VE. Diagnosis and Management of Osteoporosis. Am Fam Physician. 2015 Aug 15;92(4):261-8. PMID: 26280231.
Sampang, M. Z. (2021). Peranan Kalsium dan Vitamin D Dalam Penanganan Osteoporosis, Pencegahan Jatuh dan Patah Tulang, serta Dampak Pandemi COVID-19. Pro Health Jurnal Ilmiah Kesehatan, 3(1), 1-10. Diakses dari https://journal.umsurabaya.ac.id/index.php/Pro/article/view/7847