ciri ciri mutisme pada anak

Memahami Mutisme Selektif: Ciri-Ciri, Penyebab, dan Deteksi Dini pada Anak

11/03/2025Bumame

Mutisme selektif dapat berdampak pada perkembangan sosial, emosional, dan akademik anak.

Mutisme selektif adalah gangguan komunikasi yang sering terjadi pada anak-anak, ditandai dengan ketidakmampuan untuk berbicara dalam situasi sosial tertentu, meskipun anak sebenarnya mampu berbicara di lingkungan yang nyaman baginya. Artikel ini akan membahas mengenai ciri-ciri anak dengan mutisme selektif, faktor penyebab yang mendasarinya, hingga bagaimana deteksi dini dan penanganan mutisme selektif. 

Apa Itu Mutisme Selektif?

Mutisme selektif adalah kondisi psikologis berupa gangguan kecemasan di mana anak secara konsisten tidak berbicara di situasi tertentu, seperti di sekolah atau lingkungan sosial lainnya, meskipun mereka berbicara dengan lancar di rumah atau dengan orang-orang terdekat. Gangguan ini sering terkait dengan kecemasan sosial dan berpengaruh terhadap permasalahan sosial dan akademik pada anak. 

Bagaimana Gambaran Anak yang Mengalami Gangguan Komunikasi karena Mutisme Selektif?

Untuk dapat mengidentifikasi apakah anak mengalami mutisme selektif, dapat diperhatikan beberapa hal yang menjadi karakteristik utama pada anak dengan mutisme selektif, meliputi: 

  • Konsisten tidak berbicara di situasi tertentu: anak dengan mutisme selektif tidak berbicara di situasi sosial tertentu dimana sebenarnya anak diharapkan dapat berkomunikasi dengan baik pada situasi tersebut, seperti di sekolah. 

  • Mempengaruhi kehidupan sosial dan akademik anak: ketidakmampuan anak berkomunikasi di situasi tertentu, seperti sekolah, dapat berpengaruh kepada kehidupan sosial dan akademik anak. Biasanya anak dengan mutisme selektif memiliki kehidupan sosial dan akademik yang kurang baik dibandingkan dengan anak sebayanya. 

  • Durasi: kondisi seperti ini berlangsung secara persisten setidaknya dalam waktu satu bulan, tidak terbatas pada satu bulan pertama di sekolah.

Bagaimana saja ciri-ciri yang mudah diamati pada anak dengan mutisme selektif? 

  • Anak berbicara normal di rumah tetapi diam saat berada di sekolah atau tempat umum.

  • Menghindari kontak mata dan menunjukkan ekspresi wajah yang kaku.

  • Tidak merespons ketika ditanya atau diajak bicara oleh orang lain di lingkungan sosial.

  • Sulit untuk bergabung atau berinteraksi dalam kegiatan kelompok.

  • Memiliki tanda-tanda kecemasan seperti berkeringat, gemetar, atau terlihat tegang di situasi tertentu.

Namun, jika melihat anak yang memenuhi gambaran di atas, jangan langsung melakukan self-diagnose terhadap anak tersebut. Segera konsultasikan kepada ahlinya yaitu psikolog atau psikiater untuk mendapatkan  penjelasan akurat dan komprehensif. 

Penyebab Mutisme Selektif

Mutisme selektif umumnya disebabkan oleh kombinasi faktor psikologis, biologis, dan lingkungan, di antaranya:

1. Faktor Genetik: Penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik berperan signifikan dalam perkembangan mutisme selektif. 

  • Sebuah studi oleh Stein et al. (2011) menemukan adanya hubungan antara varian genetik umum pada gen CNTNAP2 dengan peningkatan risiko mutisme selektif dan gejala kecemasan sosial.

  • Gen CNTNAP2 termasuk dalam keluarga besar neurexin, yang berperan dalam konektivitas dan komunikasi saraf. Variasi pada gen ini dapat berkontribusi terhadap kecemasan dan kesulitan komunikasi sosial yang dialami oleh individu dengan mutisme selektif.

2. Proses Psikologis: Selain faktor genetik, proses psikologis juga dapat berpengaruh terhadap munculnya mutisme selektif pada anak. 

  • Inhibisi Perilaku (Behavioral Inhibition): Anak-anak dengan mutisme selektif sering menunjukkan inhibisi perilaku, yang ditandai dengan kepekaan berlebihan terhadap rangsangan baru dan kecenderungan untuk menarik diri dari situasi yang tidak dikenal. Perilaku ini dapat meningkatkan risiko gangguan kecemasan, termasuk mutisme selektif.

  • Dinamika Keluarga: Faktor keluarga, seperti gaya pengasuhan yang terlalu protektif atau riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga, dapat berkontribusi pada perkembangan mutisme selektif. Studi oleh Gensthaler et al. (2020) menemukan bahwa psikopatologi orang tua dan faktor sosiodemografis tertentu berkaitan dengan mutisme selektif pada anak, menunjukkan adanya pengaruh genetik dan lingkungan dalam konteks keluarga.

  • Pengalaman Trauma atau Tekanan Lingkungan: Misalnya, pengalaman pindah sekolah atau lingkungan baru yang membuat anak merasa terisolasi.

  • Perkembangan Bahasa: Kesulitan dalam berbicara atau memahami bahasa dapat memperburuk kondisi.

  • Kecemasan Sosial: Anak merasa takut dihakimi atau dipermalukan ketika berbicara.

  • Kondisi Komorbiditas: Mutisme selektif seringkali terjadi bersamaan dengan gangguan psikologis lainnya, seperti gangguan kecemasan sosial, kelainan bicara dan bahasa, serta keterlambatan perkembangan. Adanya kondisi komorbiditas ini dapat memperburuk keparahan SM dan mempersulit penanganannya.

Memahami hubungan antara predisposisi genetik dan mekanisme psikologis sangat penting untuk mengembangkan intervensi yang efektif untuk mutisme selektif. Identifikasi dini dan pendekatan perawatan yang komprehensif yang mencakup faktor genetik dan lingkungan sangat diperlukan untuk meningkatkan hasil pada anak-anak dengan gangguan ini.

Penanganan Mutisme Selektif

Apabila anak diketahui mengalami mutisme selektif, berikut beberapa penanganan yang bisa dilakukan: 

1. Terapi Perilaku Kognitif (CBT)

CBT adalah pendekatan utama dalam pengobatan mutisme selektif. Terapi ini berfokus pada mengidentifikasi dan mengubah pola pikir serta perilaku yang berkontribusi terhadap kecemasan sosial. Intervensi seperti desensitisasi sistematis, penguatan positif, dan teknik pemodelan telah terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan berbicara anak dalam situasi sosial.

2. Terapi Keluarga

Melibatkan keluarga dalam proses terapi dapat meningkatkan efektivitas pengobatan. Terapi keluarga membantu anggota keluarga memahami kondisi anak dan cara mendukungnya dalam menghadapi situasi sosial yang menantang. Pendekatan ini dapat memperkuat keterampilan sosial anak dan mengurangi kecemasan yang dirasakannya.

3. Penggunaan Obat-obatan

Dalam beberapa kasus, terutama ketika terapi perilaku tidak cukup efektif, obat-obatan seperti selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) dapat dipertimbangkan. Sebuah tinjauan sistematis menunjukkan bahwa SSRIs dapat memberikan perbaikan simptomatik pada mutisme selektif. Namun, penggunaan obat harus dilakukan di bawah pengawasan medis yang ketat dan biasanya dikombinasikan dengan terapi perilaku untuk hasil yang optimal.

4. Pendekatan Terpadu

Pendekatan yang menggabungkan terapi perilaku kognitif, terapi keluarga, dan, jika diperlukan, penggunaan obat-obatan, sering kali memberikan hasil yang lebih baik dalam pengobatan mutisme selektif. Penting untuk menyesuaikan rencana pengobatan dengan kebutuhan spesifik setiap individu dan melibatkan profesional kesehatan mental yang berpengalaman dalam proses terapi. 

Penting untuk dicatat bahwa setiap anak memiliki respons yang berbeda terhadap terapi, dan proses pengobatan mungkin memerlukan waktu dan penyesuaian berkelanjutan untuk mencapai hasil yang optimal.

Bagaimana Cara Mencegah Terjadinya Mutisme Selektif pada Anak? 

Setelah mengetahui berbagai hal mengenai mutisme selektif, apa saja yang dapat dilakukan terutama oleh orang tua untuk mencegah terjadinya mutisme selektif pada anak? 

1. Identifikasi dan Intervensi Dini:
Mengenali tanda-tanda awal kecemasan dan ketidakmauan berbicara dalam situasi sosial memungkinkan dukungan diberikan lebih awal, yang dapat mencegah perkembangan mutisme selektif. Intervensi berbasis sekolah telah terbukti efektif dalam menangani tanda-tanda awal ini. Identifikasi lebih dini dapat dilakukan dengan melakukan tes DNA untuk mengetahui karakter psikologis anak yang cenderung dapat menyebabkan mutisme selektif. 

2. Edukasi Orang Tua dan Guru:
Memberikan edukasi kepada orang tua dan guru tentang mutisme selektif dan indikator awalnya dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung komunikasi dan mengurangi kecemasan anak. Peningkatan kesadaran melalui edukasi ini dapat membantu pengasuh memahami strategi yang efektif untuk mendukung anak-anak yang berisiko.

3. Menciptakan Lingkungan yang Mendukung:
Membangun suasana kelas yang mendorong komunikasi terbuka dan mengurangi tekanan performa dapat membantu anak-anak merasa lebih nyaman untuk berbicara. Teknik seperti memberikan kesempatan untuk anak berpartisipasi tanpa berbicara terlebih dahulu dan secara bertahap mendorong respons verbal dari anak tersebut.

4. Pelatihan Keterampilan Sosial:
Mengajarkan anak keterampilan sosial dan cara mengelola kecemasan dapat mengurangi risiko berkembangnya mutisme selektif. Mengikuti program yang fokus pada peningkatan interaksi sosial dan membangun rasa percaya diri sangat disarankan.

5. Pemantauan dan Dukungan Selama Masa Transisi:
Perubahan signifikan, seperti memulai sekolah baru, dapat memicu kecemasan yang berpotensi menyebabkan mutisme selektif. Memberikan dukungan tambahan selama masa-masa ini dapat membantu mengurangi risiko. 

Penerapan langkah-langkah pencegahan di atas membutuhkan kolaborasi antara orang tua, pendidik, dan profesional kesehatan mental untuk mendukung anak-anak yang berisiko mengalami mutisme selektif. Strategi yang proaktif dan dilakukan lebih awal sangat penting dalam mencegah timbulnya atau memburuknya mutisme selektif.

Gangguan Lain pada Anak yang Mirip dengan Mutisme Selektif

1. Gangguan Kecemasan Sosial (GKS): Meskipun keduanya melibatkan kecemasan dalam situasi sosial, mutisme selektif ditandai dengan kegagalan berbicara secara konsisten dalam situasi sosial tertentu, seperti di sekolah, meskipun dapat berbicara di konteks lain. Sebaliknya, individu dengan GKS mungkin tetap mampu berbicara dalam situasi tersebut tetapi anak merasa cemas.

2. Gangguan Bicara dan Bahasa: Kondisi seperti gangguan kelancaran bicara pada anak (stuttering) atau gangguan bahasa ekspresif dapat memengaruhi kemampuan komunikasi. Namun, gangguan ini tidak bukan merupakan mutisme selektif; anak mungkin tetap berbicara di berbagai situasi meskipun dengan kesulitan berbicara yang dialami. 

3. Gangguan Spektrum Autisme (GSA): GSA melibatkan tantangan dalam komunikasi sosial secara umum, tetapi mutisme selektif ditandai dengan ketidakmampuan berbicara dalam situasi sosial tertentu, bukan ketidakmampuan komunikasi secara umum. Pada anak kecil, mutisme selektif kadang-kadang dapat disalahartikan sebagai gangguan spektrum autisme, terutama jika anak tersebut tampak sangat menarik diri di hadapan diagnostik. Namun, anak dengan mutisme selektif biasanya berbicara dengan lancar di situasi lain, yang tidak terjadi pada GSA. Membedakan antara mutisme selektif dan GSA sangat penting karena pendekatan pengobatan dapat berbeda. 

4. Fobia Spesifik: Mutisme selektif dapat terkait dengan fobia spesifik, seperti ketakutan berbicara di depan umum. Namun, mutisme selektif tidak terbatas pada objek atau situasi tertentu dan melibatkan pola lebih luas dari tidak berbicara dalam berbagai konteks sosial, contohnya lingkungan sekolah. 

5. Gangguan Stres Pasca-Trauma (PTSD): Meskipun PTSD dapat menyebabkan penarikan diri sosial dan kesulitan komunikasi, mutisme selektif bukanlah gejala utama PTSD. PTSD utamanya berkaitan dengan gangguan yang terjadi setelah peristiwa traumatis, sedangkan mutisme selektif tidak terbatas pada hal tersebut. 

6. Perkembangan Bahasa pada Anak Bilingual: Pada anak bilingual, membedakan antara mutisme selektif dan masalah akuisisi bahasa sangat penting. Mutisme selektif pada anak bilingual dicurigai jika mutisme berlangsung lama, berbeda dengan proses alami yang terjadi pada menerima pengetahuan dan paparan bahasa kedua, muncul di kedua bahasa, dan/atau bersamaan dengan perilaku malu/cemas atau terhambat. 

Deteksi Dini Mutisme Selektif, Mengapa Penting? 

Jika tidak ditangani, mutisme selektif dapat berdampak pada perkembangan sosial, emosional, dan akademik anak. Dengan deteksi dini dan intervensi yang tepat sejak awal, anak dapat belajar mengatasi kecemasan dan meningkatkan kemampuan komunikasi mereka.

Salah satu deteksi dini yang dapat dilakukan adalah melalui tes DNA di Bumame. Deteksi mutisme selektif termasuk dalam paket DNAset Kids Complete dengan harga Rp4.500.000 atau DNAset Psychology Set seharga Rp3.000.000. Hasil yang didapatkan lengkap tidak hanya terkait mutisme selektif sehingga orang tua dapat menangani kondisi kesehatan dan mengembangkan potensi anak secara maksimal. Tes dapat dilakukan dengan mudah melalui home care atau pengiriman kit DNAset. Segera hubungi Bumame untuk melakukan pemesanan tes!

Sources

Stein, M. B., Yang, B. Z., & Gelernter, J. (2011). A common genetic variant in the neurexin superfamily member CNTNAP2 is associated with increased risk for selective mutism and social anxiety-related traits. American Journal of Medical Genetics Part B: Neuropsychiatric Genetics, 156(6), 507-516. (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)

Gensthaler, A., Khalaf, S., Ligges, M., Kaess, M., & Freitag, C. M. (2020). The impact of parental psychopathology and sociodemographic factors on selective mutism in children. BMC Psychiatry, 20, Artikel 26. (bmcpsychiatry.biomedcentral.com

Cohan, S. L., Chavira, D. A., & Stein, M. B. (2006). Practitioner review: Psychosocial interventions for children with selective mutism: A critical evaluation of the literature from 1990–2005. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 47(11), 1085-1097. (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)

Stone, B. P., Kratochwill, T. R., Sladezcek, I., & Serlin, R. C. (2002). Treatment of Selective Mutism: A Best-Evidence Synthesis. School Psychology Quarterly, 17(2), 168–190. (academic.oup.com)

Crundwell, R. M. A. (2010). Selective Mutism: A Three-Tiered Approach to Prevention and Intervention. Canadian Journal of School Psychology, 25(1), 75–91. (link.springer.com)